Monthly Archives: Juli 2015

Sajak Deasy Tirayoh

Standar

DT

Deasy Tirayoh

KAGHATI KOLOPE

Angin terhuyung menarikan kaghati kolope
Kaki-kaki menapak setumbuh lapang serta raut sedu sedan
Ada wangi serat nanas hutan ditarik ulur genggaman
Bilah bamboo menisik kelindan dedaun gadung
Berlembar-lembar serupa Tuhan menitip kisah
Riwayat yang bersekutu dengan kelana waktu

Sementara sendu angin mondar-mandir di dinding gua Liang Kobori
Salinlah dengan mata
Sebentuk lukisan layang-layang purbakala sedang mencatat kitabnya sendiri

Maka, biarkalang jatuh tersungkur
Oleh angin yang lunglai atau temali yang lalai
Ia telah melanglang menantang umur
Sedemikian panggung alam bijak membumi

Sebab sejarah dan musim angin di desa
Sama bersahaja

Sultra, 2014
Kaghati Kolope: layang-layang berbahan daun kolope (gadung) dari pulau Muna yang disinyalir sebagai layang-layang tertua di dunia.

KALAMBE
:Pingit

Perdu bersemak selagi mata mengisyaratkan dongeng leluhur
Saat tunas ranum menemani rintik-rintik kegadisan
Lantas gong bunyi
Tetabuh mengungsikan sepi ditarung hasrat
Menarilah dengan tungkai sekokoh akar jati
Sebab gong telah menandai

Bibir terkatup menimbun doa
Angka dimatangkan agar siap pada goda
Apa yang menganga?
Perawan tak baik bila berisik
Kuburkan deburan tubuhmu di kesenyapan
Hingga dahaga peziarah datang menimba
Di kala rintik-rintik kegadisan pecah dalam upacara
Deras menghujani gersang

Perdu bersemak selagi benakmu masih kuncup
Kalambe, engkau bukanlah perdu itu
Yang jamak terinjak dan tumbuh sembarang
Pupuklah sebilang kata paling menjaga
Jangan durhaka!
Bunga mawar mekar mengiring musim
Siapa yang sungguh tertusuk duri?

Sultra, 2014
Kalambe: sebutan untuk gadis dalam bahasa Muna

KANDAI

di teluk dengan riak airnya yang keruh aku bersitatap menjala sejarahmu. alkisah berdengung di keramaian seumpama denting lonceng kecil yang membangunkan penunggu batas berperisai dan destar di kepala. mereka berseru sebelum negeri ini menjadi petakpetak tanah atas namanama yang diumpet ke dalam gemeriuh pesta pembangunan. di ujung dermaga generasi masakini sudah amnesia tentang sauh dan dayung berhimpun memberi judul untuk perahu yang membawa satu judul klasik : kandai

aku terlahir dari zaman yang melupa tentang moyang berisalah dalam gurindam di bawah cahaya bulan ketilam. jika kau gerus alam tanpa perhitungan maka alam akan meminta bayaran dari arah yang menghancurkan. hutan sudah tipis. sungai jadi tepian beton yang dimonopoli arus kanal kapitalis. asin lautan getir menangis. rumah berlabel keringat rakyat terjungkir jadi rongga kaca raksasa tempat segenap piutang tercatat untuk sekadar eksis.

kandai…

lidahku menyelamimu dalam ngilu. sekarang banyak wajah generasiku yang latah dan gemar mengigau. lisan kehilangan nama sejati. raga kehilangan aroma adat. jiwa kehilangan rupa budaya. kami disuguhkan kotak layar kaca penampung mantra. kami disesaki jadwal kampanye para rajaraja kecil yang rajin mempecundangi hukum semesta. pidana perdata menjelma dagelan bagi pemilik rupiah.

kandai…

ingin kukabarkan pada moyangku. sejarah telah mengambang dan dikail sebagai huruf-huruf gerutu yang melarung tanpa kendali. terombangambing seperti zombie bermuka imbesil. karena bahkan kompas dan teropong kami ditumpas saat kitab dongeng leluhur digadaikan untuk kepentingan penguasa yang lebih faseh bersidang dalam kelambu ketimbang mengurusi pelestarian terumbu.

Kedai pisang epe, Juli 2013

*Kandai adalah asal mula penamaan Kota Kendari

DEASY TIRAYOH adalah seorang cerpenis, penyair, dan penulis skenario yang berdomisili di Kendari. Lahir di Minahasa, Sulawesi Utara dan menyelesaikan studi S-1 di Universitas Haluoleo pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Cerpennya tersebar di media lokal dan nasional. “Mass In B Minor” adalah cerpennya yang bergaya tutur unik. “Metamorfosis Ligo” adalah cerpen yang menjadi pemenang lomba karya cipta cerpen kebudayaan di Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Puisi-puisinya dapat dibaca dalam kumpulan puisi 9 Pengakuan Mahila. “Kaghati Kolope” memenangkan sayembara cipta puisi Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Dalam sinematografi, Deasy menulis skenario untuk beberapa film bertema anak Indonesia diantaranya: Sahabat Merah Putih (Produksi TVRI 2013), Pelangi Menjuntai di Langit Muna (TVRI 2014), Sahabat Crayon (TVRI 2015) dan untuk film bertema keluarga Bersurat pada Matahari (TVRI 2014 dalam tayangan Hari Ibu). Film mini kolosal La Rumbalangi (Produksi Dinas Pariwisata Kolaka) dan sedang merampungkan sebuah skenario film pendek. Ia juga pernah diundang sebagai tamu undangan di MIWF 2015. Buku kumpulan cerita mininya adalah Tanda Seru di Tubuh, diterbitkan Settung Publishing, Mei 2015. 

Sejumlah Sajak Hafid Triatmo “Ungke Senja” dari Kolaka

Standar

ungke

Penyair Hafid Triatmo “Ungke Senja”

PERANG MALAM KATA

unggun api telah padam. bara berjuang digempur dingin, melepas luka dalam rupa asap menerpa wajahku yang masih membaca isyarat suasana. Di sekitarku suara jangkrik keras protes pada perbincangan mereka tentang perempuan yang ditelanjangi kata-kata dan juga tentang lelaki yang dimatikan prosesnya.

terasa tangan sajak memeluk cuaca namun aku gagal memahami makna dari sentuhannya hingga dia melepasku dalam gerutu lalu lebur dalam sengit pertempuran.

bara telah jadi abu dalam lembaran buku sehingga samar terbaca kekalahan dan keterasingan dari peperangan malam kata

Ungke, Auditorium USN, Kolaka, 2015

AKU DIMATIKAN

perjalanku akan sampai pada titik tertentu, di mana proses dan ilmu bukan lagi apa yang dipahami melainkan didekap dalam sunyi.

sayap malam telah mengepak prosesnya. demikian pula aku. namun mendung adalah niat yang tak terduga datangnya, melesatkan selaksa anak panah hingga sayap malam dan prosesku terluka parah, sementara kehidupan di sekitarku mengalir begitu saja.

adakah yang lebih abadi dari proses? malam menuju pagi adalah proses, rahim menuju nisan adalah proses, mengapa harus dimatikan, bukankah itu melanggar apa yang telah ditentukanNya?

hak tiap-tiap kita mencari proses tetapi bukan berarti kita berhak mematikan proses seseorang, biarkan prosesku mencari jalannya cukup menyingkir saja jika tak suka, bukan memanahnya.

Ungke, Kolaka 2015

KETIKA MENONTON BERITA

sapaan angin singgah sejenak menari di wajahku yang nyaris retak ditetak waktu klasik.

selalu tentang pengembaraan aksara tentang pembunuhan kata tentang pergulatan makna tentang bagaimana berbahasa.
di luar sana aksara telah jadi sengketa kata telah jadi armada makna telah jadi senjata dan berbahasa telah jadi keranda.

aku masih mengembara di alam pemikiran sementara waktu menguntit dengan seringai nisan.

Ungke, Kolaka, 2012

NASEHAT SEORANG COPET

Dik, Mari kita tertawai cita-cita tinggi. Yang hanya jadi beban dan tidak membuat kenyang perut hari ini. Malah utang numpuk sana-sini. Karena kita hanyalah tukang copet.

Tak usah perdulikan kata orang-orang tentang kita, yang nyaris jadi anjing liar di belantara kota. Sebab merekalah yang melantik kita jadi copet. Tidak usah malu, tetap tegakkan kepala dan kencangkan lari tentunya.

Mari dik, kita ejek saja bangku sekolah, yang banyak menciptakan copet berdasi saingan kita Jangan ragukan kemampuan mereka, sekali nyopet, negara gulung tikar. Kita juga mesti bersyukur dik karena mereka lebih tenar. Sehingga kamera dan tinta lebih memilih ketokohan mereka, hingga privasi kita tetap aman.

Sebelum catatan ini berakhir, saya ingin menekankan padamu sekali lagi dik. Setelah berbincang denganku, periksalah dompetmu sebelum berlalu.

Salam copet.

MIEN

Mien. Setelah suara daun sakura menyapaku
Dalam guguran rindu, waktu pun jelma gerimis

Lalu wajahmu yang pagi
Mengekalkan perjalanan musim semi
Sehingga tubuh melupa sepi

Mien. Ketika sakura dan ageha tumbuh subur di hati Maka kucipta juga sajak ini untukmu

Kolaka, 2012

DI BERANDA NISAN

Kubayangkan dunia mengabur di mata: bulan, matahari tidur.
Kubayangkan hujan jatuh di beranda: riuh, gemuruh gempur.
Kubayangkan rumah digoda airmata: gigil, dia basah.
Dalam semua itu, kuajak kalian menyatu di perjamuan nisan terakhir.

Kolaka, 2012

HAFID TRIADMO “UNGKE SENJA” lahir tanggal 17 Juni 1985 adalah seorang penyair dan pengamen jalanan di Kolaka. Ia mengamen di banyak kawasan di Kolaka, sambil menjadi sumur inspirasi puisinya. Ia pernah bergiat di Teater Anakia Kolaka dan saat ini aktif di Teater Kolaka (Teko).

Tiga Sajak Masjaya “Emji Lastra”

Standar

10314459_832962623399567_1851540429107118785_n

Masjaya “Emji Lastra”

DIYA

Bukan jarak bentang pisah
Tapi hati

Bila pun di pelupuk mata
Bahkan pada jarak minus
Tetap terasa jauh

Ada kalanya
Apa yang tertulis di hati
Tak selamanya tercatat
Lauh Mahfuzh

Begitulah,
Cinta tak harus bersanding
Takdir yang bungkam
Terkadang lebih paham rencana Tuhan

Mei 2015

TEMPURUNG K MAHASISWA

Kampung
Ke Kota
Kendari
Koskosan
Kampus Kuning
Kuliah
Kantin
Kiriman

Kotek kotek

Keluruyan
Ke Kebi
Kamar
Kumpul Kebo

Kloset

Mei 2015

CINTA DAN SAJAK TAK BERNAMA (5)

Sebab aku hanyalah dada rapuh
Dan kau rusuk sebatangkara
Bertemu di peraduan ini
Bersama melindungi napas
Ke akhir sesak

Juli 2015

MASJAYA yang memiliki nama facebook Emji Lastra adalah seorang wartawan di Kendari Pos. Bergiat di Laskar Sastra (Lastra), FKIP, Universitas Halu Oleo (UHO). Kini ia tinggal di Kota Kendari bersama istri yang dicintainya.

Kendari dan Negoisasi Diri

Standar

Oleh: Wan Anwarwan-anwar

Perkenalan saya dengan hal ihwal Kendari masih amat terbatas. Dua kali menginjakkan kaki di Kendari (dan Raha) jelas tidak cukup untuk mengenal dan apalagi memahami Kendari (manusia, masyarakat, alam, sejarah, dan kebudayaannya). Meski demikian beberapa kenangan melekat dalam ingatan. Itu cukuplah membuat Kendari menjadi suatu tempat khusus dalam diri saya. Kenangan itu sebagian bersifat pribadi, sebagian lagi menyangkut kemasyarakatan dan kebudayaan.

Dua kali ke Kendari (sekali bersama rombongan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya, sekali lagi bersama pelukis Herry Dim), masing-masing kurang lebih seminggu, telah mengenalkan saya pada banyak hal. Pengenalan yang paling menyenangkan tentu saja karena mendapati banyak kawan di Kendari yang intens menggeluti kesenian, khususnya teater dan sastra. Entah kenapa jika di suatu kota mendapati sejumlah orang menggeluti kesenian, hati ini sedikit tenteram. Selalu ada harapan, dengan adanya orang-orang berkesenian, maka “pembangunanisme”, modernisasi, dan gelegak globalisasi sedikit banyak akan “dikontrol”, dikritisi, dan bahkan dinegoisasi sehingga pembangunan tidak melulu berpijak pada percepatan ekonomi dan pembangunan fisik lainnya. Ini penting karena pembangunan seyogyanya mencakupi keutuhan dan keunikan manusia itu sendiri: darah-daging, lahir-batin manusia dan masyarakatnya.

Jika benar harapan di atas, berarti saya berpandangan bahwa kesenian (katakanlah teater dan sastra) adalah suara lain, mungkin ganjil dan kecil, yang memiliki daya untuk bernegoisasi dengan suara (budaya/kuasa) dominan yang seringkali menghegemoni keadaan. Suara dominan antara lain modernisasi atau globalisasi yang datang dari berbagai penjuru dunia, utamanya semangat kapitalisme dari negara-negara Barat. Saya katakan “antara lain”, karena suara dominan dapat saja berupa “ideologi pusat” bernama Jakarta, bahkan budaya tradisi yang tidak selalu berisi “kearifan-kearifan lokal”.

Suara dominan agaknya sudah menjadi “wataknya” sendiri melakukan kooptasi, hegemoni, dominasi yang pada ujungnya “penaklukan” pada suara-suara kecil yang disisihkan. Sebagai manusia/ masyarakat yang pernah mengalami pahit-getirnya penjajahan dunia Barat (kolonialisme), adakalanya kita melestarikan watak kolonial, selain tentu menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan. Sementara itu sebagai bangsa yang lahir dari keragaman budaya, bahkan keragaman kerajaan di masa lampau, tidak jarang kita mewarisi sifat chauvinis (membanggakan masa silam kerajaan/etnisitas) yang gilirannya menumbuhkan rasisme dan penindasan terhadap si liyan (the other). Oleh karena itu setiap suara dominan, dari manapun sumbernya, harus dikritisi bahkan dilawan.

Dapatkah kesenian, sastra dan teater khususnya, melawan suara dominan? Bukankah kesenian, hampir di manapun dan kapanpun, selalu menjadi suara sunyi yang kesepian? Dengan kata lain tidak dapat mengalahkan non-kesenian, katakanlah politik dan ekonomi?

Tentu saja kita tidak bicara soal “mengalahkan” melalui kerja kesenian karena ambisi mengalahkan bagian dari sifat penindasan. Kesenian, dengan suara sunyinya, beritikad untuk “menghilangkan” penindasan, sekurang-kuranya suara dominan dapat mempertanyakan kembali dominasinya. Selebihnya, suara dominan akan menghargai suara-suara sunyi terpinggirkan, melakukan interaksi intensif, dan pada gilirannya suara-suara sunyi terpinggirkan mampu turut serta membangun kompleksitas budaya dan masyarakat. Dengan kata lain interaksi suara dominan dan suara-suara terpinggirkan menghasilkan budaya kreatif dan produktif.

Tapi apa yang saya ketahui tentang Kendari? Suara dominan macam apa yang “menguasai” Kendari? Suara-suara terpinggirkan apa pula yang sedang berinteraksi, bahkan melawan, suara dominan?

Sekali lagi lagi pengetahuan saya tentang Kendari amat terbatas. Dalam dua kali kunjungan ke kota di Tenggara Sulawesi ini saya hanya tahu bahwa di Kendari ada banyak toko menjual makanan lezat biji jambu mente. Di beberapa titik lokasi teluk Kendari ada komunitas Bajo. Di teluk Kendari ada keramaian malam muda-mudi berkencan, restoran terapung, jalan-jalan lebar lengang di kanan-kirinya melayah hutan bakau, kapal-kapal jet-foil di Pelabuhan Kendari, warung remang-remang dengan musik hingar bingar, pasar Wua-wua di salah satu bagian kota, mini market dan supermarket, restoran-restoran fast-food, warung-warung tenda malam hari menjajakan sea-food, lalu lintas angkot berseliweran dengan mobil-mobil pribadi seperti di banyak kota di Indonesia umumnya, kampus luas tetapi asrama mahasiswanya kurang terurus, perumahan dosen di mana Ahid Hidayat tinggal, perusahaan tambang dan penyeberangan ke Makasar di Kolaka, pelabuhan fery di Tampo yang menghubungkan Kendari dengan Muna dan Buton. Ah apalagi ya? Pengetahuan saya tentang Kendari benar-benar terbatas.

Kadang menyesal mengapa sewaktu di Kendari tidak banyak “berpetualang” untuk mengetahui kekhasan Kendari. Saya belum sempat secara mendalam bertanya pada kawan-kawan mengenai empat etnis (Tolaki, Muna, Buton, dan Morunene) dominan di Kendari. Saya belum sempat bertanya sejarah, mitos, dan cerita-cerita rakyat Kendari. Saya belum tahu bagaimana lembaga adat menyelesaikan jika ada konflik antar-entnis atau sesama etnis. Meski saya bersyukur sedikit tahu bagaimana caranya orang luar Kendari kalau ingin meminang gadis Kendari.

Saya berharap bisa datang lagi ke Kendari. Selain untuk mengenal lebih jauh Kendari, saya juga ingin jalan-jalan ke Buton. Dari beberapa buku sejarah dan filologi, kesultanan Buton sering menjadi bahan pembicaraan, terutama dalam kontaknya dengan kerajaan di Makasar, Bima, kerajaan di Jawa dan Sumatera, dan kolonial Belanda di masa silam. Kontak-kontak yang selain menunjukkan awal modernisasi/ globalisasi, juga kontak-kontak menyangkut negoisasi (perkawinan putra-putri antar-kerajaan misalnya) untuk menghindar konflik dan perang (meski konflik dan perang terjadi juga). Semua itu agaknya penting untuk lebih mengenal, menghayati, dan memahami Kendari.

Tapi saya beruntung sempat menyeberang ke Raha/ Muna, meskipun saya iri kepada penyair Cecep Syamsul Hari yang begitu tiba di Raha sebuah sajak berjudul “Raha” lahir dari tangannya. Oleh pemilik hotel (hotel yang sebenarnya rumah) di Raha saya diantar ke sebuah desa, malam-malam, untuk melihat kain tenun khas Muna. Pada kedatangan kedua, saya lebih beruntung karena sepanjang malam ditemani Gani, Roy, dan Inal (yang pertama seniman Kendari asal Mandar, yang lainnya seniman Raha) jalan-jalan ke pantai/ pelabuhan Raha. Bersama mereka saya menikmati lampu-lampu neon berderet sepanjang pelabuhan, menikmati debur ombak pelahan, serbuan angin laut, dan kesibukan malam pelabuhan. Mereka bicara banyak tentang Muna, meski sebagian tak terekam dalam ingatan. Mereka bercerita tentang tugu pembatas Raha, tentang kebersahajaan seorang ibu tokoh politik di negeri ini, tentang kontu kowuna (batu berbunga), tentang rencana pembangunan hotel di tepi pantai menjelang PORDA, tentang sumber minyak di bawah tanah Raha, dan tentang penebangan kayu jati yang terus berlangsung hingga kini.

Ah kayu jati? Dengan sedih malam itu saya saksikan bagaimana truk-truk mengangkut kayu jati yang sudah diikat rapi dan langsung dimasukkan ke kapal-kapal yang akan menyeberangkannya entah kemana. “Kayu jati Raha kualitasnya nomor wahid,” begitu kata Roy. Saya terhenyak sejenak: kayu jati, nomor wahid! Betul-betul spiritual: kayu jati kayu yang hebat (makanya kita menggunakan ungkapan “jati diri” untuk mengungkapkan etos bangsa) dan wahid bukankah ahad (satu)? Pulau Muna ini pulau yang menyimpan “jati” kualitas ahad! Tentu tak elok jika penggerogotan atasnya (baik alam maupun kebudayaan) dibiarkan. Pada kesempatan ini saya ingin meminta sesuatu pada Roy dan Inal: jaga pulaumu dengan seluruh dayamu. Dapatkah kesenian berperan dalam hal ini?

Pada sebuah pagi, Roy dan Inal mengantar saya ke Pasar Raha. Sebuah kehidupan cukup ramai dibandingkan jalan-jalan kota Raha yang lengang dan lebih banyak dilintasi sepeda motor. Wa Ode Erawaty, gadis Raha yang juga menemani, mampu membuat sejuk kota Raha yang panas. Kulitnya yang putih kehitaman seperti kulit roti tak matang di pembakaran: mengingatkan saya pada sebuah film Prancis yang tokohnya (orang kulit putih) ingin berkulit coklat sebagai bentuk negoisasi budaya terhadap tempat tinggalnya: sebuah kota di Amerika Latin, bekas jajahan Prancis!
Penyeberangan ke Raha (sekali melalui Tampo, sekali lagi melalui pelabuhan Kendari) juga menyimpan kenangan. Dari laut lepas yang tidak terlalu keras ombaknya dapat terlihat bagaimana indahnya tepi-tepi Sulawesi Tenggara. Di selat cempedak ombak memang membuat jantung agak berdetak, tetapi pada saat itulah tercipta sebuah sajak:….jantung berdetak di selat cempedak/ pulau-pulau meminta untuk kudekap/ superjet melaju ke laut biru/ memburu yang kita tuju…(2004)

Apa yang kita tuju? Siapakah “kita”? Pada saat itu yang ada: saya, Era, dan Gani, selebihnya penumpang lain. Tapi dalam konteks tulisan ini, izinkan saya memaknainya secara lain: apa yang kita tuju dengan berkesenian, entah itu berteater atau bersajak sebagaimana dilakukan kawan-kawan yang dihimpun Teater Sendiri ini?

***
Betapa senang ketika Syaifuddin Gani mengirim sms kepada saya yang intinya meminta saya mengantari sajak-sajak yang diantologikan menjadi buku Sendiri 3. Buku ini akan diluncurkan/ dibacakan dalam pembukaan Festival Teater Pelajar (FTP) Se-Sulawesi Tenggara dalam rangka 14 tahun Teater Sendiri yang diasuh Achmad Zain, sebuah kelompok teater yang aktif mementaskan garapannya, baik di kota Kendari, Sulawesi Tenggara umumnya, Makasar, Banjarmasin, Samarinda, Surabaya, Yogyakarta, maupun Jakarta. Sesuai namanya, meski mungkin “sendiri”, mereka terus berproses, sebagaimana ditekadkan Achmad Zain melalui sajaknya: Din/ melangkahlah selama kaki kanan/ dan kaki kiri belum menyatu (sajak “Sembilan Anak Tangga”). Ungkapan sederhana yang mengejutkan, sekaligus simbolik mengingat judul “Sembilan Anak Tangga” mengisyaratkan keharusan tuntasnya menempuh perjalanan untuk mencapai tangga sepuluh: dan di puncak tangga ada cahaya membias/ biarkan menerpa wajah kita. Sejenis puncak pencerahan atau spiritual hasil proses perjalanan yang akan menjelmakan “jati diri” para pejalan budaya.

Pengalaman dua kali menikmati Kendari (dan Raha) ternyata tidak sama dengan pengalaman membaca lebih dari 100 sajak dari 11 penyair dalam buku ini. Itu adalah bukti bahwa Kendari dalam pencerapan saya adalah segugus versi dan Kendari yang direspons/ dihadirkan 11 penyair adalah versi yang lain. Keberagaman pencerapan, juga tafsir, amat tergantung pada pengetahuan dan pengalaman setiap orang, baik secara kuantitatif maupun terutama kualitatif. Setiap individu adalah perspektif dan karena itu akan melahirkan gambar yang beragam. Dari asumsi ini saja sudah muncul keharusan berkomunikasi, bahkan bernegoisasi, dalam merespons hal-ihwal yang hadir baik secara diakronis (perspektif waktu) maupun sinkronis (perspektif ruang). Uraian ini tidak lain sebentuk komunikasi dan negoisasi dalam perspektif ruang dan waktu pencerapan.

Negoisasi budaya niscaya tak terelakkan. Pengalaman-pengalaman pahit di masa silam (sejarah) karena ulah kolonialisme dan kenyataan kini yang jauh dari harapan adalah kontradiksi yang menuntut negoisasi. Sekurang-kurangnya respons bila solusi belum mungkin dilakukan. Lagi pula sajak tidak ada urusan dengan solusi, jika pun ada biarlah pembaca yang bicara. Kontradiksi itu sering membuat para penyair gelisah sebagaimana diungkapkan Syaifuddin Gani dalam “Langit Tak Terjangkau” yang merespons Losari (pantai di Makasar): sepanjang losari/ kau sabdakan cerita-cerita silam/ dan kau tikamkan lagu asing…..dan si mata biru itu/ telah lama berlalu// suatu saat aku akan datang lagi, katanya/ tak lagi memanggul senjata/ tapi mendulang sejarah dan pusaka.

Negeri ini memang sudah merdeka, tapi apakah betul merdeka sebenar-benar merdeka? Tentu belum. Selain beragam kuasa dari berbagai belahan penjuru dunia terus mengintai, kita juga harus berhadapan dengan para penindas dari negeri dan lingkungan sendiri. Kau lirik dalam sajak di atas bereaksi atas keasingan di kotanya:…kalau kau datang, kuberondong kau/ dengan sebilah siri’/ katamu, sambil pasakkan pagar dan pugar. Cukup tegas bahwa kuasa lokal, mungkin kearifan lokal (siri’) dalam sajak itu dihadapkan pada suara dominan (modernisasi/ globalisasi yang berbau Barat) yang representasinya “anak dara berbaju bodo/ menari di atas panggung” di tengah “kecapi yang merintih dan teriris”.

Dalam cara berpikir dikotomis atau oposisi biner adalah lumrah bila hitam dihadapkan pada putih, tradisi ditentangkan pada modernisasi. Akan tetapi kuasa dominan tidak selalu datang dari Barat dan tradisi tidak selalu menjadi harapan. Sering muncul kebimbangan dan persoalan di sini. Meski dengan sajak yang anasirnya kurang terjaga, dalam sajak “Kekalahan Dini Hari” Sendri Yakti mengungkapkan persoalan itu: Malam marut, kata-kata mengerucut/ menerobos sejarah yang menggumuh di sudutsudut/ di udara merambat musik bingar, igau yang riuh/ percakapan jadi liat dan menoreh pedih/ sudah kulupa, kapan negeri ini merdeka…. kita berdebat tentang feodal yang kataku belel/ tapi masih kau panggil ayahmu ode/ tak seperti kudecak lidah/ dan memanggil kucingku sultan…

Dua sajak di atas, meski bukan sajak terbaik dari kedua mereka, melukiskan situasi masyarakat poskolonial, di mana sisa kolonialisme masih mengganjal, modernisasi dan globalisasi tak bisa membuat manusia tentram, tetapi pada saat bersamaan tradisi lokal belum mampu menaungi manusia dalam rasa betah. Kembali ke tradisi lokal belakangan dianggap sebagai jalan untuk menyikapi keadaan. Tentu saja bukan tradisi asal tradisi, melainkan kearifan lokal yang dapat membantu menyelesaikan banyak soal kehidupan dewasa ini yang kian kompleks. Sayangnya seperti diungkapkan Irawan Tinggoa tradisi sebatas ritus belum dapat berbuat banyak. Perhatikan sajak “Ritus Mosehe”, terutama bait terakhir: sepejam mata/ taawu dihunuskan:/ kerbau putih sebagai tumbal/ darahnya bercecer mengusir sesal/ ia lemas telah mengusir tikai/ yang tak padam.

Di antara penyair dalam buku ini, Irawan Tinggoa menunjukkan hasrat besar merespons banyak soal dengan pendekatan tradisi lokal. Sekurang-kurangnya banyak istilah-istilah lokal dibaurkan ke dalam komposisi sajaknya yang cukup lancar mengalir. Kepekaannya pada momen dan hasratnya untuk “mengucapkan” tradisi berpotensi untuk melahirkan sajak sederhana tetapi mendalam. Responsnya terhadap suasana kota terasa sederhana dan jenaka: selokan kota gerah berpenuh cena/ di tepi-tepi rumah kumuh membuncah// mengepul bau kemenyan/ menebar aroma kematian// seorang dukun kota/ sesaat meringis diserang bala diare (sajak “Kota”).

Hiruk pikuk kota siang malam di banyak daerah di negeri ini sering menjadi tema dan kegelisahan para penyair ketika memaknai diri dan kehidupan di sekitarnya. Memang kontradiksi (harapan dan kenyataan berbeda) adakalanya menarik direspons dengan sederhana dan jenaka sebagaimana dilakukan Irawan dalam sajak “Kota” di atas. Lihat pulalah sajak Karmil Edo Sendiri yang berjudul “Gelap”. Sajaknya yang merespons kota dimainkan lincah dengan wacana Edison (penemu listrik) dan Einstein (penemu teori relativitas) dalam ikatan persoalan gelap dan terang keadaan. Bait akhir sajak ini jelas merupakan kritik terhadap perilaku sebagian masyarakat yang suka melakukan “transaksi” di “tempat gelap”.
Saya tidak tahu apakah di Kendari dan sekitarnya ada tradisi lisan yang mengandalkan kekuatan irama dan bunyi kata. Yang jelas Didit Marshel tampak kuat memainkan irama dan bunyi kata-kata, sebagian mirip pantun bahkan mantra, meski pada sebagian sajak terasa dipaksakan. Kekuatan memainkan irama dan bunyi kata tampak tegas dalam “Negeri Batu” misalnya. Banyak kata batu yang tentu bukan sembarang batu digunakan Didit untuk mengkritisi kehidupan kita sekarang yang memang sudah membatu. Sebuah keadaan yang meminta dipecahkan, oleh sejenis “kapak” (idiom Sutardji Calzoum Bachri) atau oleh benda khas di lingkungan Kendari dan sekitarnya.

Sajak pada umumnya memang suara lain, suara aneh yang ganjil, yang sunyi dan kesepian, di tengah riuh kota, manusia dan masyarakat batu yang berkata-kata bukan atas kesadaran. Suara penyair dikekalkan dalam kata. Dan kata, sebagaimana diungkapkan Irianto Ibrahim, meski diambil oleh orang tidak akan pernah kehilangan hakikatnya. Bacalah “Sajak untuk Dhani” yang menghidupkan kata-kata dalam permainan dan renungan:…Tetaplah bersama kata/ Biarkan ia tumbuh dan tegak berdiri/ Ketika satu orang mengambil satu daunnya/ tidak berarti ia kehilangan nama pohonnya.
Kata, itulah harta penyair yang paling berharga. Jika penyair kehilangan kata, habis sudahlah eksistensinya. Itu sebabnya setiap saat penyair bergulat dengan kata. Tentu saja bukan semata bermain sekedar memainkan kata-kata, melainkan menggali kemungkinan kata-kata. Ironisnya sekarang ini penyair hidup di masyarakat yang nyaris kehilangan kata-kata. Benda-benda telah menggantikan komunikasi sehari-hari. Benda-benda merebut posisi kata sebagai citra. Benda-bendalah yang kini menjadi citra: rumah, mobil, handphone, pakaian, dan benda-benda produk industri lainnya. Teater mutakhir di negeri ini, juga di dunia, menyikapi kenyataan ini dengan menghadirkan pergelaran tanpa kata-kata. Teater kembali ke akarnya semula: tubuh dan segala kemungkinan potensi tubuh.

Lalu apa yang akan dilakukan penyair ketika kata telah direbut iklan dan retorika politik? Haruskan kita hanya dan hanya berkawan sunyi sebagaimana diungkapkan Iqbal Oktavian dalam sajak “Bersama Kesunyian”? Atau “kita hanya kuasa/ menunggu kapan saat itu tiba/ di mana waktu berhenti/ dan kita ditagih pertanggungjawaban/ sang waktu (sajak “Perjalanan Waktu” karya Tongis Alamsyah)? Dan karenanya kita tak perlu melakukan apa-apa karena kata yang kita cipta akan sia-sia, karena waktu dan tempat kita berdiam telah melakukan segalanya, dan kita cukup “melekat pada tubuhmu” (sajak “Kota Muna” karya Royan Ikmal”). Dan kemudian alam memberi musibah karena kita melalaikannya seperti diungkapkan Royan Ikmal dalam “Syair Muna yang Terbang”?

Saya kira saya tak perlu pesimis. Meski sajak-sajak para penyair di buku ini lebih banyak menyampaikan gambaran muram, tetapi kesetiaannya untuk terus berkata-kata membuat saya cukup optimis. Kesanggupan mereka bertahan di “negeri batu” dan keriangan mereka “memainkan” kata-kata tentu menambah optimisme saya. Pasti saya akan lebih optimis jika mereka lebih serius belajar membaca dalam pengertiannya yang luas, lebih khusuk mempelajari masa silam dan masa kini, baik di Kendari maupun di luar Kendari.

Masalah penyair tentu bukan sekedar kata-kata. Jika kata-kata itu representasi kehidupan, interaksi kehidupan, dan unsur pembentuk kehidupan, maka persoalan mendasar penyair adalah kehidupan itu sendiri. Menyelami kehidupan tidak selalu harus melulu langsung, melainkan bisa melalui kata-kata para penjelajah kehidupan. Untuk memuliakan kata-kata, seorang penyair dapat memulainya dengan serius membaca karya-karya penyair lain dalam bentangan sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra dunia, bahkan sejarah sastra di Kendari dan sekitarnya.
***
Secara jujur harus dikatakan, sejauh terlihat dari sajak-sajak dalam buku ini, pergulatan para penyair selayaknya diintensifkan. Pada sejumlah sajak mereka tidak jarang masih terdapat kelemahan dasar komposisi yang mungkin disebabkan karena belum utuhnya pengalaman puitik, belum pekanya pada kata-kata, belum tajamnya menciptakan ungkapan segar, atau belum terlatih mengontrol logika imajinasi yang membuat anasir sajak tidak saling mendukung makna atau kegelisahan penyairnya. Adakalanya pula hasrat untuk menyampaikan sesutu terlalu kuat sehingga baris/ bait sajak menjadi pengap oleh kata-kata abstrak.

Menulis sajak barangkali ibarat mendaki puncak. Pada awalnya kita berjalan di keriuhan banyak orang, berkawan kata-kata klise, lalu memasuki kampung-kampung sunyi, pematang-pematang lengang, lembah yang membuat hati gelisah, rumpun-rumpun rimbun di mana hanya ada satu dua orang melintas, menaiki tebing terjal atau licin, berkenalan dengan akar dan juntaian pohon-pohon besar, gelap dan dingin, matahari tak terlihat, bulan entah di mana, hingga akhirnya sampai di puncak setelah pori-pori tubuh meneteskan jutaan keringat.

Atau seperti menuju samudera dengan gelombang tak terkira. Pada mulanya kita bertamasya saja di bibir pantai, berenang di tepian, agak ke tengah dan mulai merasakan gelombang di permukaan dan kedalaman, terus berenang ke tengah hingga akhirnya menyatu dengan samudera di mana segala jenis karang, gelombang, ikan, topan, dan badai lautan menjadi bagian diri dan kehidupan.

Baik dalam mendaki puncak maupun menembus samudera, perkara latihan tentu penting. Akan tetapi keberanian memasuki pahit-getir kehidupan dan kejujuran mengungkapkan kepada orang lain tidak kalah pentingnya. Mungkin kita tidak menjadi apa-apa, tidak menjadi pahlawan atau pujaan, tidak diberi hadiah seperti para pendaki gunung atau peloncat indah dan perenang dalam perlombaan. Akan tetapi kita telah berdialog dengan mereka, dengan yang menjangkau samudera di atas kapal atau melihat puncak dari helikopter: meyakinkan mereka bahwa kata, suara lain yang aneh dan ganjil itu, bisa “sekuasa” benda-benda. Itulah kira-kira negoisasi budaya.

Selamat berulangtahun Teater Sendiri. Karena engkau telah “bernegoisasi” dengan berbagai suara, termasuk suara dominan, di Kendari, percayalah diri engkau tidak akan pernah sendiri. ***

Cipocok-Serang, 15 Agustus 2006
Pukul 01.16 WIB

Wan Anwar, penyair dan esais. Bekerja sebagai editor di majalah sastra Horison dan sebagai dosen di FKIP Untirta Banten. Bukunya yang sudah terbit: Sebelum Senja Selesai (2002), Sepasang Maut (2004), dan Kuntowijoyo dan Dunianya (2006). Tinggal di Cipocok-Serang, Banten.

Sejumlah Sajak Henrik Ras, Penyair Berbakat dari Kolaka, Sulawesi Tenggara

Standar

11201160_1060617447287107_111828573208036429_o

Penyair Henrik Ras (di tengah) diapit dua penyair lainnya, Wa Ode Rizki Adi Putri dan Isno Nhois, saat Pertemuan Penyair Muda Sulawesi Tenggara, Kantor Bahasa Prov. Sulawesi Tenggara, tahun 2015.

DEBU TANAH MERAH

Jasadnya menangis lagi
Saat hujan membelah-belah tubuhnya
Telah berceceran tumbal membayangi kota
Di perairan
Di dermaga
Di terminal
Bahkan di atap rumahmu ia termenung mencari kubur

Jasadnya kini mengendapi kota
Mengembarai cuaca
Tugu pemanggul pacul berdoa
Merasa dirinya dianggap boneka

Ia tumbal dari orang orang
Pewaris tahta yang salah

Jangan kau cari kuburan kita
Sebab ia telah terjual
Bahkan karena doa orang mati
Kita masih hidup hari ini

Kolaka, 2014

SELAMAT DATANG

Para tamu masuk tanpa menyelundup
Menyapu sampe gubuk-gubuk
Melotot melihat pulau-pulau
Hingga berani menawar perkilo
Perkantong, perkarung, permeter
Bahkan pertelunjuk, katanya menjadi sampel

Sampel di iring-iringan truk?

Sementara tuan rumah mendadak haji
Tapi mereka yang tak sekamar
Masih mengayuh roda tiga menjajal malam
Mereka terpaku menopang dagu
Melihat truk gandeng terbungkus
Saling mengandeng, gandeng menuju dermaga Kolaka

Seketika aku menjelma
Pusaran angin di perkumpulan debu cerobong
Ingin kubanjiri kota dengan tanah merah
Agar abadi darah Kongga

Kolaka, 2015

KENANG AKU

Kau menyamar gelap ke ruang kosong
Dalam sukmaku
Duka yang kau hidang telah mendidih
Dalam dadaku
Senandung itu telah hilang menerka
Senyuman itu
Manis lidahmu menyapa
Namun lidahmu berkata-kata

Setiap celah lidah menikam langkah
Hingga tubuhku membusuki pasar
Tersiar kematianku sampai ke pelosok
Telah merangkai sebuah lagu

Saat kurindukan masa
Di mana tawa tak ditawar
Semakin saja cabikan mencari gumpalan sisa
Kukerkah ingatan saat rasa wajar bertanya

Sengaja aku berdiri meski jasadku telah kau bagi
Pintaku hanya kuburan suci dalam catatan kecilmu

Kendari, 2015

TERIMA KASIH PAGI
: untuk Wa Ode saja

Terima kasih pagi
Ia telah datang menyapa sepi
Membungkam resahku pada gerimis
Kerudungnya melekat di embun waktu yang sejuk
Pukul enam Kendari

Berdetak kembali palung bisu
Setelah tiga putaran Februari
Ingin kubermuka-muka
Bersandar sebelum pamit

Tapi
Jika hanya menjadi abu
Dari arang matamu yang menyala

Kembalikan saja sukmaku
Yang terkait senyummu
Karena malam akan membantaiku
Saat wajahmu menggeliuk-liuk di bawah bantal

Para nelayan akan mencarimu
Saat pasang surut
Karena pesanku dalam kaleng susu
Akan mencemari Teluk Kendari

Kendari 2015

Hendrik Ras, lahir pada tanggal 14 Februari 1996. Saat ini masih menjadi pelajar di SMK Negeri 1 Kolaka. Ia merupakan merupakan anggota Sanggar Lentera Kolaka yang didirikan oleh Dedy Swandi. Selain itu, ia juga aktif di sanggar Teko (Teater Kolaka) yang didirikan oleh Iwan Konawe. Kini, lelaki yang hobbi membaca, tidur, dan menghayal ini, tinggal di Balandete, No.33, Lorong Bendungan, Kab.Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Inawa, Sebuah Sajak “Spiritualitas Lokal” dari Salim Kramat

Standar

10302168_873569482669610_5583300167942103964_n

Salim Al Kramat (sebelah kiri) seorang penyair muda terkini Sulawesi Tenggara.

Sebelum nyawa itu ada maka hidup telah ada

tetapi nyawa menyunting hidup biar ada pengakuan yang makin bergema sampai kini, maka berucap sederet kata yang beruntun mengalir dalam tubuh, sampai Malaikat sujud hormat menjalani isyarat yang tak bisa dihalaunya dan teruslah mengungkap isi bumi yang utuh lagi perawan membawa martabatnya pada sisi yang tersendiri dan disebut itu paling mulia di sisNya

teriaklah di setiap waktu nyawa yang baru, meraung ampun pada hidup yang dijumpainya Namun erat kepalan tangan terlalu rahasia adanya sambil membawa tangis dari langit ketujuh. Tepat dua setengah purnama lampu minyak kampua menyala-nyala mengikuti lantunan barasandi pertanda perang telah dimulai dengan selamat

Karena waktu, ubun-ubun mulai membatu dan canda itu mulai mengigit tubuh malaikat, terlihatlah sifat baru di hadirat Tuhan, maka dupa dibakar dalam empat unsur bumi yang menyertai bacaan modhi mengelus pundak guna menyapa ruh titipan Tuhan lewat malaikat nyata yang bernama Ina

Kini usia semakin matang menantikan kawan yang hendak menemunya, turunlah cinta dari langit tenggelam dalam batinnya melahirkan perasaan yang sama di antara mereka, kehadiran cinta mengenalkan pada kesepian, maka sunyi mulai menikam hati

Di seberang dunia turunlah api yang membara hinggap di antara angan, menguji cinta yang asing, lalu rasa itu bertasbih buat menepis baranya yang jatuh di antara langit dan bumi

Kendari 15 – 4- 2013

Inawa : bahasa Muna yang artinya nyawa
Kampua : upacara adat pengguntingan rambut suku Muna pada anak usia 44 hari
Barasandi : puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW
Modhi : sebutan suku Muna kepada orang tua pembaca do’a
Ina : panngilan suku Muna kepada Ibu

Salim Al Kramat adalah seorang penyair muda terkini Sulawesi Tenggara. Bergiat di Laskar Sastra (Lastra) Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari. Selain menyuntuki puisi, ia juga mahir memadukan gambus Muna dan puisi menjadi musikalisasi puisi yang khas. Usai tamat di UHO, kini ia berkhidmat sebagai tenaga pengajar di Universitas Sebelas November (USN) Kolaka.

Dua Sajak La Ode Muh. Rauf Alimin yang Memukau

Standar

RAUF

La Ode Muh. Rauf Alimin. Pria kelahiran Baubau, Juli 1994 tersebut bergiat di Laskar Sastra (Lastra), Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Halu Oleo. Setamat di UHO tahun 2015, ia kembali ke kampung halaman dan tetap menulis puisi.

Secangkir Duka

jauh langitku meninggi
aku memanggil nama-Mu
dan nama-Mu begitu tulus mengalun
ketika malam lahir kembali dari rahim maghrib

tapi kali ini aku berduka
aku saksikan wujud adzan
terpental dan berdarah-darah di alas-alas dosa
terkapar di sudut diagonal dunia

dalam angin aku menjelma kata
siapakah kira-kira yang menelanjangi agama-Mu

dekat nama-Mu
menitik-nitik dari langit-langit doa dan dari telapak doa

titik embun menghembus dan meminta
menyejuk panas dosa
yang merintih, yang sayup-sayup turun
antara luka dan duka

langit makin tinggi terangkat
tanah-Mu, laut-Mu, angin-Mu, hujan-Mu
ditumbuhi dengan dosa

ayat berjejal di bumi
basah sepi, basah duka
aku terseret hingga darah malam begitu melupakan terang
dan putih bening suci kalimat wudhu
membasuh lail-Mu
menanam asma-Mu

taman-taman doaku
di langit-langit lidahku
jika air mata adalah butir-butir dzikir
mengalirlah!
seperti matahari mengairi daun-daun
karena aku ingin melihat dunia rasul di rumah-Mu

Kendari, 2013

Bukan Sebuah Puisi, Melainkan Dirimu Sendiri

tidak seperti kemarin
aku tidak melihat adanya bulan
bahkan malam ini
sengaja aku tidak memberitahukan ini kepada malam
buat apa?
malam selalu tahu kemana bulan pergi
kemana angin beranjak

tapi yang tidak ingin kuceritakan kepada malam
bahwa sekembang senyummu pagi tadi
berkali-kali mengetuk pintu mataku yang buta
lalu wangi pandangmu mengubah musim di jalanku sendiri

ini mungkin terlalu jujur

kalau aku harus puisikan
aku tidak tahu
dengan bunga apa aku harus mempersamakannya pada wujudmu
dan dengan apa pula aku meniupkannya dalam kertas tentang warnamu
seolah kau mengambil seluruh hak isi puisi

jadi, kalau aku harus puisikan
mustahil

Kendari, 2013

LA ODE MUH. RAUF ALIMIN adalah pria kelahiran Baubau, Juli 1994 yang bergiat di Laskar Sastra (Lastra) semasa aktif kuliah di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Halu Oleo. Di Lastra, ia aktif menulis dan membacakan puisinya, serta aktif latihan dab bermain drama dan musikalisasi pusii. Setamat di UHO tahun 2015, ia kembali ke kampung halaman, membantu orang tua dan tetap menulis puisi. Ia salah seorang generasi terkini penyair Sulawesi Tenggara yang sangat berbakat.

Agama, Islam, Arab, Budaya, dan Nusantara

Standar

ali-musthafa-yakub_20150621_034427Merdeka.com – Polemik istilah Islam Nusantara muncul saat Presiden Joko Widodo memberi penyataan soal kontroversi tilawah langgam Jawa. Jagad media sosial pun ramai akhir bulan lalu dengan istilah Islam Nusantara. Banyak yang mengatakan, muncul nama Islam Nusantara untuk menghapus istilah Islam Arab.

Lalu bagaimana pandangan Imam Besar Majid Istiqlal, Ali Mustafa Yaqub. Kepada merdeka.com, Kiai Ali menjelaskan pandangannya sebagai salah satu ulama di Indonesia. Dia mengatakan jika sejatinya, istilah Islam Arab dan Islam Nusantara itu tidak ada.

“Tidak ada Islam Arab, tidak ada Islam Nusantara,” katanya saat berbincang dengan merdeka.com di Kantor Bank Bukopin Syariah, Jalan Melawai Raya, Blok M, Jakarta Selatan, kemarin.

Namun dia menegaskan jika agama dan budaya tidak bisa dipisahkan. “Budaya Indonesia tidak perlu kita lawan sepanjang itu tidak bertentangan dengan Islam,” ujarnya.

Berikut ini kutipan penuturan Ali Mustafa Yaqub soal Islam Nusantara kepada Arbi Sumandoyo di sela waktu sibuknya.

Apa pandangan anda soal Islam Nusantara?

Kalau seperti apa, saya tidak tahu persis. Saya bukan yang melontarkan ide itu ya. Tapi begini, Islam itu adalah agama, lalu Nusantara adalah budaya. Budaya atau geografi, jadi kalau yang dimaksud Islam Nusantara itu adalah Islam yang diwarnai dengan corak budaya nusantara, seperti saya ini pakai peci, kan nusantara. Kalau seperti itu saya mendukung sekali. Tapi kalau itu bersumber dari ajaran-ajaran yang berkembang di nusantara, itu saya tolak.

Ajaran yang berkembang di nusantara sebelum Islam apa? Kan klenik dan sebagainya, tahayul itu mau dijadikan, saya menentang keras. Tapi kalau yang dimaksud adalah Islam yang diwarnai dengan corak budaya nusantara itu engak ada masalah.

Cuma saya melihat kenapa ada ide seperti itu, orang seperti itu sebab belakangan berkembang dari segala apa yang dari Arab, bahkan yang dari nabi itu bakal dijadikan agama. Artinya apa yang berasal dari nabi mesti diikuti. Padahal yang dari nabi ada dua macam. Yang agama dan budaya. Nabi sendiri mengatakan begini,” kalau aku memerintahkan kepada kamu dan itu merupakan agama, maka kamu wajib mengikuti. Tapi kalau yang saya perintahkan itu adalah pendapat saya, maka saya adalah manusia biasa.”

Nah apa yang datang dari nabi itu ada tiga hal. Pertama aqidah, ibadah, ada yang bidangnya muamalah. Nah ini masuknya budaya. Kalau bidang agama, aqidah dan ibadah harus kita ambil. Gamis yang dikalungkan. Itu adalah budaya orang Arab pada masa nabi seperti itu. Apa yang pakai sorban itu bukan cuma Rasullullah, abu jahal juga pakai sorban. Nabi sendiri mengatakan perbedaan sorban kami dengan sorban orang-orang musryikin adalah memakai peci kemudian memakai sorban.telokmanokmosque02dy7

Cuma kalau orang Islam kalau pakai peci dulu kemudian pakai sorban, sorbannya akan lebih srot. Karena dipakai untuk ruku dan sujud. Pada musyrikin itu kan enggak ada srot-srotan, yang penting ada ubel-ubel begitu. Jadi itu kata para ulama bukan agama, itu budaya. Nah artinya apa, budaya orang arab tidak harus kita ambil. Kalau itu baik ya tidak apa-apa. Kalau sorban saja. Tapi jangan mengatakan kalau tidak memakai sorban tidak mengikuti nabi. Itu akan saya lawan duluan dan itu bertentangan dengan ajaran nabi sendiri.

Memang Al-quran mengatakan apa yang berasal dari nabi ambil, apa yang dilarang tinggalkan. Itukan sifatnya umum. Nah sekarang banyak orang menginginkan apa yang dilakukan nabi itu harus kita lakukan. Seperti pakai sorban, itu silakan. Tapi jangan ambil sorbannya saja, nabi tidak pernah makan nasi. Kamu jangan makan nasi. Itukan budaya. Pakaian misalnya, Islam itu tidak pernah membatasi tentang bentuk pakaian. Pakaian itu secara kriteria P4, pertama tutup aurat, tidak transfaran, tidak menyerupai lawan jenis.mesjid-kuno-bayan-beleq

Kemudian ditambah lagi adabnya misalnya, bukan pakaian zuhroh, pakaian popularitas. Berarti pakaian berbeda dari apa yang digunakan orang-orang di sekitar kita. Kemudian bahannya yang tidak diharamkan, sutra bagi laki-laki misalnya. Kalau itu terpenuhi semuanya, mau model apa silakan. Orang Amerika pakai dasi silakan, siapa mau larang. Orang China mau pakai baju China silakan.

Sekarang kalau orang Indonesia pakai sarung, pakai peci, itukan nusantara. Nah kalau itu yang dimaksud saya dukung betul.214854_masjid-agung-djenne_663_498

Bagaimana cara memposisikan Islam di tengah budaya Indonesia ini?

Budaya Indonesia tidak perlu kita lawan sepanjang itu tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau budaya nusantara itu berjudi ya jangan.

Contoh konkretnya?

Anda pakai baju ini budaya enggak? Yang pakai peci ini budaya enggak, berlawan dengan Islam? Orang-orang pakai baju batik budaya mana itu, sarung budaya mana itu, kan bisa menjadi budaya nusantara, ya kan? Dan itu tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau budayanya itu harus pakai koteka, itu tidak boleh. Jadi jangan terlalu kaku lah. Tapi ada sekarang ini yang ingin mengamankan budaya, nah itu yang saya tidak sependapat. Budaya Arab itu wajib kita kerjakan sama seperti agama, itu tidak benar seperti itu.

Bagaimana Islam melihat tahlilan dalam tradisi nusantara, misalnya peringatan tujuh hari atau empat puluh hari kematian?

PADANG, 4/11 - BELUM RAMPUNG. Masjid Raya Sumbar terlihat masih dalam proses pengerjaan di Jalan Khatib Sulaiman, Padang, Sumbar, Minggu (4/11). Masjid yang akan disebut sebagai masjid termegah di Asia Tenggara dengan daya tampung 12 ribu jemaah dan biaya pembangunan mencapai Rp332 miliar itu masih belum rampung, kini dilakukan pembangunan shelter, pembangunan menara sebanyak 5 tiang dan pelataran parkir. FOTO ANTARA/Iggoy el Fitra/12

PADANG, 4/11 – BELUM RAMPUNG. Masjid Raya Sumbar terlihat masih dalam proses pengerjaan di Jalan Khatib Sulaiman, Padang, Sumbar, Minggu (4/11). Masjid yang akan disebut sebagai masjid termegah di Asia Tenggara dengan daya tampung 12 ribu jemaah dan biaya pembangunan mencapai Rp332 miliar itu masih belum rampung, kini dilakukan pembangunan shelter, pembangunan menara sebanyak 5 tiang dan pelataran parkir. FOTO ANTARA/Iggoy el Fitra/12

Tahlilan itu, jangankan tahlilan, sembahyang aja budaya dengan agama. Ritualnya kan agama, ibadah. Tapi pakai bajunya gimana, kan budaya, itukan menyatu, makanya tidak bisa mau memisahkan ibadah tidak bersinggungan dengan budaya tidak mungkin. Apa kita mau sembahyang telanjang, coba bagaimana. Kalau kita pakai jas itukan budaya barat. Berartikan ada agama bersinggungan dengan budaya.

Tapi banyak yang mengatakan jika tahlilan seperti itu tidak dilakukan oleh nabi?

Tidak semua yang tidak dilakukan oleh nabi itu tidak boleh dilakukan. Rasulullah tidak pernah haji dua kali, Rasulullah tidak pernah umroh pada bulan Ramadhan. Kenapa orang lakukan itu. Tahlilan itu budayanya apa? Kumpul-kumpulnya itu budaya, tapi bacaan Al-quran itu bukan budaya, tapi ibadah. Baca salawat itu ibadah. Baca tahlil, tasbih itu semuanya ibadah. Kumpul-kumpulnya itu budaya. Sulit beribadah tanpa mencampuri budaya.

Lalu bagaimana dengan Maulid Nabi?

20111008122438Maulid Nabi itu budaya. Tapi membaca Alqurannya ibadah, baca shalawatnya ibadah. Menyantuni anak yatimnya ibadah, berdoanya ibadah, ceramahnya ibadah. Tapi itu dikemas dalam bentuk budaya. Coba sekarang anda sembahyang tanpa budaya sama sekali. Coba bayangkan sembahyangnya bagaimana? Apa telanjang?

Kita pakai sarung, pakai peci itu budaya kita. Islam kan tidak menentukan sarung. Kan tutup aurat, lalu kalau pakai daun pisang boleh?

Bagaimana menurut anda cara Islam masuk ke Indonesia dan perkambangannya sekarang?

Islam melalui perdagangan hanya penyebarannya saja, tidak ada masalah itu. Mau perdagangan, yang jelas begini, yang saya ketahui kalau dibanding penyebaran Islam di seputaran Arab ini, Islam masuk di Indonesia tanpa ada peperangan sama sekali. Jadi masuknya itu dengan jalan damai. Tapi harus diketahui pada saat itu ada dua imperium, Romawi dan Spartly, yang dalam situasi perang terus. Ketika menyebarkan Islam pun dalam faktor perang juga dan di Indonesia itu tidak ada. Itu yang saya ketahui begitu. Jadi dalam penyebaran Islam di Indonesia tidak ada perang.

Dan itu yang menjadikan Islam Indonesia lebih dikenal dengan budayanya?

Yah betul. Jadi begini juga. Yang kedua, ada upaya gerakan untuk menjadikan budaya Arab itu sebuah agama. Itu sebuah kewajiban, apa yang datang dari nabi tanpa dipilah-pilah harus diikuti termasuk pakainnya harus diikuti, makannya harus begini. Dan makan pun itu antara Agama dan budaya. Kalau kita makan dengan tangan kanan, diawali Bismillah dan diakhiri dengan hamdalah, itukan agama. Bahkan saya tidak tahu budaya itu masuk wilayah hewan misalnya? Ada memang hewan berbudaya?

Untuk membedakan agama dengan budaya, perbedaannya begini. Kalau perbuatan itu dilakukan oleh umat Islam saja, tandanya itu apa. Kalau perbuatan itu dilakukan oleh orang Islam dan non Islam, itu budaya. Contohnya begini, pakai baju itu budaya, non muslim juga memakai baju. Tapi memakai baju dengan kriteria yang saya sebutkan tadi, itu hanya diperuntukan untuk orang Islam. Makan pun budaya, yang dilakukan oleh orang non muslim dan muslim. Tapi ketika makan dengan tangan kanan diawali dengan bismilah dan diakhiri dengan hamdalah itu adalah agama.

7655f-mosque_shah_faisal_masjid_sJadi harus bedakan mana budaya, mana agama. Yang datang dari nabi itu merupakan agama, kata Rasulullah wajib menaati. Tapi yang bukan merupakan agama, pendapat Rasulullah sendiri tidak harus dianjurkan. Sekarang kan anda tahu, sampai pengobatan Arab saja mau dijadikan agama. Kemudian bekam begitu, saya itu pernah mencoba untuk bekam. Apa ilmu yang saya dapat, saya tanya tukangnya itu “ini alat-alat bekamnya beli dimana? Ini buatan china,”. Pengobatan nabi, ini buatan China. Berarti orang China punya budaya berbekam itu. Mungkin bekam itu bukan agama, tapi budaya.

Sekarang sedang ramai orang pakai batu cincin. Nabi pakai cincin, orang yang non muslim juga pakai cincin. Apakah orang yang pakai cincin itu merupakan pengikut Rasulullah? Itu budaya, karena orang non muslim juga pakai. Makanya yang budaya itu, anda mau pakai silakan tidak pakai juga silakan. Tapi dengan catatan, kalau anda mengambil budaya Arab atau budaya Nabi, apakah bercincin atau sorbanan, jangan mengatakan orang yang tidak memakai cincin, bukan pengikut nabi. Itu nanti yang akan saya lawan.

Dan sekarang itu terjadi?

Terjadi.

Banyak yang tidak dilakukan oleh nabi lalu dilakukan dan berujung pada pengkafiran?

Nah itu yang saya tidak setuju. Saya dulu pernah, 20 tahun yang lalu di kawasan Tomang ada pengajian, penghuninya anak dan bapak pakai sorban, pakai jubah. Anak kecilnya itu umurnya mungkin 8 tahun. Sorbannya itu sampai tengkleng. Namanya anak lucu kalau dipakaikan itu. Lalu bapaknya ngomong apa? “Iya mulai menjalankan sunnah nabi itu harus sejak kecil”. Jadi dia mengatakan pakai sorban itu sunnahnya nabi. Kata para ulama, sorban itu bukan ibadah tapi tradisi. Nah kita kadang tidak membedakan mana yang agama dan budaya. Sehingga kita akan mengagamakan budaya. Nah yang perlu dipertimbangkan bagus mungkin membudayakan agama.

Yang dimaksud membudayakan agama ini adalah membiasakan mengamalkan sebuah rutinitas ajaran agama. Itu yang menjadikan membudayakan agama, itu bagus. Tapi kalau mengagamakan budaya, budaya itu setiap bangsa itu berbeda, setiap daerah berbeda. Islam itukan universal. Silakan saja.

dkaSAArtinya Islam itu bukan Islam Arab atau Islam Nusantara?

Tidak ada Islam Arab, tidak ada Islam Nusantara. Makanya saya katakan sebenarnya tidak usah bikin-bikin istilah Islam Nusantara. Islam ini cukup sumbernya Al-quran. Tapi tadi Islam yang diwarnai budaya nusantara, tidak apa-apa. Sekarang begini, misalnya lebaran. Lebaran itu agama atau budaya? Sembahyangnya agama, ketupatnya budaya. Ketupatnya saja hanya sebagian daerah kok. Ada yang pakai lepet. Itu simbol-simbol budaya.

Ketupat itu rapet, lepet itu erat, itu simbol-simbol hari raya. Yang menurut saya tidak benar adalah yang itu tadi, semua yang bersumber dari nabi itu agama. Pakai sorban, nanti pakai cincin, dan sebagainya dan itu yang akan merusak Islam itu sendiri.

Sumber: http://www.merdeka.com/khas/tidak-ada-islam-arab-dan-islam-nusantara-wawancara-ali-mustafa-yacub-1.html

Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: Antara Klaim Andrea Hirata dan Faktanya

Standar

Oleh Damar Juniarto*

Andrea-Hirata-001

Andrea Hirata (Sumber: wizzamcustoms.blogspot.com)

DELAPAN tahun setelah terbitnya Laskar Pelangi melalui penerbit Bentang Pustaka dilansir kabar yang sangat menyenangkan untuk didengar. Andrea Hirata, penulis kelahiran Belitung yang menulis seri kisah anak lelaki bernama Ikal dari pulau Belitung yang miskin tetapi akhirnya sukses, aktif mengabarkannya lewat beragam media, baik mainstream maupun akun media sosialnya. Pertama, ‪Farrar, Straus and Giroux‬ (selanjutnya disingkat FSG) akan mencetak Laskar Pelangi di bulan Februari 2013. Andrea Hirata adalah penulis pertama dari Indonesia yang mendapat kesempatan dari penerbit yang terbiasa mencetak karya-karya sastrawan dunia. Kedua, Laskar Pelangi mendapat pengakuan sebagai “International Best Seller”. Ini didasarkan atas pencantuman label di bagian atas sampul Laskar Pelangi terbitan dari negara Turki.

Kedua kabar ini tidak secara serentak diberitakan, melainkan bertahap disampaikan. Semua mulai bergulir sejak terjemahan Laskar Pelangi lebih dulu dicetak oleh penerbit-penerbit di luar Indonesia, seperti Penguin Books dan Random House dan kemudian dipasarkan ke lebih dari 20 negara. Siapapun orang Indonesia pastilah bangga mendengarnya. Jarang sekali, bukan berarti tidak ada, penulis Indonesia menorehkan prestasi demikian.

original_164088_A72XqNbr4QZx3zhLkQ_pPJoAH

The Rainbow Troops (Sumber: http://www.coroflot.com)

Malahan, sebagai publisis yang bergerak di bidang buku dan film, saya nyatakan terbitnya Laskar Pelangi telah mengubah lanskap sejarah penerbitan dan perfilman. Di penerbitan, Laskar Pelangi telah tercetak lebih dari 5 juta eksemplar lewat ritel resmi dan di pasar gelap mencapai 15 juta eksemplar. Itu artinya, dalam kurun waktu kurang dari satu dekade, 20 juta eksemplar dimiliki oleh pembaca. Booming karya Laskar Pelangi melahirkan genre yang dinamakan Novel Otobiografis atau biasanya saya sederhanakan artinya menjadi “novelisasi kisah hidup sendiri”. Sontak, penerbit berlomba mencari penulis yang mampu mengangkat kisah hidupnya dan sedapat mungkin dijadikan novel, hanya untuk mengikuti tren yang muncul karena Laskar Pelangi. Di film, kisahnya kurang lebih sama. Lewat tangan kreatif Mira Lesmana, Riri Riza, dan Salman Aristo sebagai penulis adaptasinya, film Laskar Pelangi mencetak angka penonton yang masih tercatat sebagai angka paling tinggi: 4.606.785 (Catatan Filmindonesia.or.id dari laporan jaringan 21 Cineplex). Sampai tahun 2013 ini, angka penonton ini hampir saja dilampaui oleh film Habibie & Ainun dengan jumlah penonton sebanyak 4.207.864. Sama halnya seperti di penerbitan, booming Laskar Pelangi menderaskan pengadaptasian buku-buku bestseller lain di Indonesia, bahkan bisa dikatakan “film adaptasi” adalah pilihan yang dipertimbangkan produser bahkan melampaui film horor.

Kalau tidak karena pernyataan sensasional yang disampaikan Andrea Hirata pada Selasa, 12 Februari 2013 dan dimuat di sejumlah media nasional, saya masih dalam kerangka berpikir yang sama. Karena pernyataan itu juga saya kemudian melakukan pengecekan ulang atas semua yang pernah dinyatakan Andrea Hirata mengenai pengakuan internasional atas karya Laskar Pelangi.

Klaim Penulis?
September 2012, Andrea Hirata memberitakan dirinya telah ditandatanganinya kontrak perjanjian dengan pihak penerbit FSG. FSG adalah sebuah penerbit yang dianggap sebagai penerbit terakhir yang hanya menerbitkan karya sastra dan terkenal karena daftar para penulis yang diterbitkan melaluinya, mulai dari karya fiksi sastra, narasi non-fiksi, puisi, hingga sastra anak. Nama-nama pemenang Nobel Sastra seperti Hermann Hesse, T. S. Eliot, Yasunari Kawabata, Aleksandr Solzhenitsyn, Pablo Neruda, Camilo José Cela, Nadine Gordimer, Mario Vargas Llosa. Begitu juga pemenang Nobel Perdamaian, tetapi yang pasti adalah para penulis pemenang anugerah sastra bergengsi Amerika Serikat Pulitzer. Nama-nama mulai Oscar Hijuelos, Michael Cunningham, Jeffrey Eugenides, hingga Marilynne Robinson ada di antara nama-nama penulis lain. Ini berarti Andrea Hirata adalah penulis pertama dari Indonesia yang bekerjasama dengan FSG.

Sebagai publisis, beruntung bahwa saya memiliki informasi yang membuat saya mampu melakukan pengecekan ke pihak penerbit. Saya melakukan pengecekan ke FSG dan Bentang Pustaka. Fakta yang menarik adalah Laskar Pelangi yang kemudian diterjemahkan menjadi The Rainbow Troops ternyata dicetak oleh Sarah Crichton Books, imprint dari FSG, yang menerbitkan beragam karya sastra dan fiksi dan non-fiksi komersil. Sarah Crichton Books menekankan pada sisi komersil. Imprint ini mencetak The God Factor karya Cathleen Falsani tahun 2006 dan karya Ishmael Beah berjudul A Long Way Gone bestseller dan buku pilihan Starbucks tahun 2007.

HirataDari informasi ini, saya melihat ada perbedaan besar antara FSG dan imprint Sarah Crichton Books. Sederhana saja, nama-nama penulis yang bekerjasama dengan Sarah Crichton Books nyaris nama-nama penulis yang asing terdengar dan di luar dari nama pemenang penghargaan Nobel/Pulitzer. Daftar penulisnya bisa dicek di: http://www.boomerangbooks.com.au/publisher/Sarah-Crichton-Books

Ketika hal ini saya tanyakan kepada CEO Bentang Pustaka Salman Faridi lewat wawancara telepon, secara mengejutkan, penerbit tidak mengetahui perihal ini. Salman tetap menyebutkan bahwa Laskar Pelangi dicetak oleh FSG dan bukan oleh imprint, dan bukan didasar atas pertimbangan komersil.

Berdasarkan fakta ini, ada detil kecil yang tidak disampaikan kepada kita sebagai pembaca/publik oleh Andrea Hirata. Informasi mengenai imprint dipotong dan diklaim bagian FSG hanya untuk kepentingan pencitraan (marketing), seolah-olah benar ada seorang penulis dari Indonesia yang telah kontrak dengan FSG.

Tetapi klaim ini kalah apabila dibandingkan dengan pernyataan Andrea Hirata berikut ini. Dalam konferensi pers Selasa, 12 Februari 2013 mengenai pengakuan “International Best Seller” dari Turki, yang dihadiri oleh media-media nasional, dilansir ucapan: “Hampir seratus tahun kita menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tapi Alhamdullilah hari ini semua terbukti setelah buku saya menjadi bestseller dunia.” (Metronews.com)

Pengakuan Internasional?
Penerbit Turki bernama Butik Yayinlari menerbitkan Gokkusagi Askerleri dengan mencantumkan label “International Best Seller” di bagian atas sampul. “Untuk meraih predikat ‘International Best Seller’ di luar negeri tidak mudah. Paling tidak penjualan buku tersebut mencapai 70 persen di setiap negara yang menerbitkannya,” demikian disampaikan Andrea Hirata kepada pers (Antaranews.com). Tentu saja, saya langsung mencoba mencari data yang diperlukan atas apa yang disampaikan oleh penulis ini. Bagaimana faktanya?

Ketika Andrea Hirata menyatakan bahwa hampir seratus tahun tidak ada pembuktian ada karya anak bangsa mendunia, dengan mudah saya kategorikan Andrea Hirata lagi-lagi sedang melakukan klaim. Karena faktanya tidak benar demikian. Pengakuan internasional untuk karya sastra dari Indonesia tak terbilang banyaknya. Pramoedya Ananta Toer pernah mendapatkannya, bahkan sampai hari ini baru dirinyalah sastrawan dari Indonesia yang dinobatkan sebagai kandidat peraih Nobel Sastra. YB Mangunwijaya juga mendapatkan pengakuan internasional. NH Dini, yang hampir menjadi kandidat Nobel juga termasuk. Jadi klaim Andrea Hirata ini terdengar sangat mengolok-olok dirinya sendiri. Andrea Hirata telah mencederai sejarah dunia sastra Indonesia dengan menyebutkan tidak ada karya anak bangsa mendunia dalam kurun waktu hampir seratus tahun.

Satu-satunya klaim yang mendekati kebenaran adalah soal “International Best Seller”. Paling tidak, menurut saya, Andrea Hirata membawa bukti berupa sampul Laskar Pelangi versi Turki. Maksudnya mendekati kebenaran, menurut Salman Faridi, ada kemungkinan pencantuman “International Best Seller” di sampul versi Turki berdasarkan keterangan dari Kathleen Anderson dari Kathleen Anderson Literary Management, agen yang berhasil menjual Laskar Pelangi. Kemungkinan besar karena Laskar Pelangi berhasil dijual Kathleen ke beberapa negara dan ada beberapa negara yang cetak ulang. Tetapi Salman tidak bisa merinci negara mana saja. Dari berita, hanya Vietnam saja yang mencetak ulang. Lalu mana daftar negara lainnya?978-3-446-24791-8_214112515822-82-261x400

Tetapi masih terlalu cepat menyimpulkan kalau ini juga klaim. Maka saya mencari informasi mengenai kriteria “International Best Seller” dari penulis Maggie Tiojakin, yang akrab menggeluti karya-karya sastra internasional. Maggie menjelaskan kriterianya adalah cetak ulang di beberapa negara, biasanya di atas 10 negara. Setelah mendengar keterangan ini, saya menghentikan kegiatan saya untuk mencari informasi lebih lanjut. Saya tidak setuju label “International Best Seller” yang dasar penetapannya tidak jelas ini kemudian dipergunakan Andrea Hirata untuk mengolok-olok sejarah sastra Indonesia, ini jelas memprihatinkan.

Kedepankan Kejujuran
Berhadapan dengan media, memang membutuhkan news peg yang menarik. Sebagai publisis, saya paham betul apa yang dilakukan Andrea Hirata tidak lebih dari strategi marketing untuk mencitrakan dirinya sebagai penulis Indonesia berkelas dunia. Personal branding dibangun dengan membalut diri dengan informasi-informasi yang fantastis, sama seperti kisah Ikal yang ditulisnya.

Tetapi sebagai publisis, saya berpikir strategi marketing bagi penulis Andrea Hirata dengan segala klaim yang dikatakannya selama ini beresiko. Resiko yang tak seharusnya terjadi bilamana mencuat kebenaran yang sesungguhnya. Resiko yang tak perlu muncul juga seandainya Andrea Hirata lebih bijak menempatkan dirinya. Resiko ini bukan hanya berlaku bagi penulis sendiri, tetapi juga akan mengikutsertakan penerbit, juga seantero industri penerbitan dan perfilman. Pasti kita semua tidak ingin ini terjadi bukan? Maka kedepankan kejujuran, wahai Andrea Hirata.***

*Publisis buku di Tanam Ide Kreasi (@scriptozoid), Moderator komunitas Goodreads Indonesia 2008-2010, pembaca aktif

Tulisan terkait/update:
1. Bantahan Andrea Hirata di Media Online: http://www.tempo.co/read/news/2013/02/15/219461465/Andrea-Indonesia-Butuh-Kritikus-yang-Kompeten
2. Penulis Laskar Pelangi Berencana Perkarakan Blogger – Hukum Online http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51239affba5e9/penulis-laskar-pelangi-berencana-perkarakan-blogger
3. Email Andrea lewat kompasioner Agus Hermawan: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/02/20/andrea-hirata-menjawab-penulis-indonesia-mencari-keadilan-536494.html
4. Yusril Ihza Mahendra: http://www.tempo.co/read/news/2013/02/20/114462541/Yusril-Andrea-Hirata-Dipojokkan
5. Kontroversi Andrea Hirata, Pelajaran bagi Blogger dan Penulis – Marintan Omposungu http://media.kompasiana.com/new-media/2013/02/20/hirata-gate-dan-kebebasan-530321.html
6. Menggugat Kepenulisan Andrea Hirata – Carolus Putranto http://sosbud.kompasiana.com/2013/02/20/menggugat-kepenulisan-andrea-hirata-535582.html
7. Andrea Hirata dan Saatnya Balas Tulisan dengan Tulisan – Hazmi Srondol http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/02/23/andrea-hirata-dan-saatnya-balas-tulisan-dengan-tulisan-531356.html
8. 10 Kritikus Sastra bicara tentang Andrea Hirata dan Laskar Pelangi http://sosbud.kompasiana.com/2013/02/21/10-kritikus-sastra-bicara-tentang-andrea-hirata-dan-laskar-pelangi-535723.html
9. Benarkah ada saran dari Buya Syafii Maarif http://media.kompasiana.com/buku/2013/02/22/benarkah-ada-saran-buya-syafii-maarif-agar-andrea-hirata-menempuh-jalur-hukum-536140.html

Sumber: https://boemipoetra.wordpress.com/2013/02/25/pengakuan-internasional-laskar-pelangi-antara-klaim-andrea-hirata-dan-faktanya/
Diunduh tanggal 4 Juli 2015